Era gambar atau video tiga dimensi (3D) sudah tiba. Awalnya kita harus menyaksikan tayangan 3D di bioskop tertentu dengan materi film tertentu juga. Kini era 3D sudah lebih personal, alias bisa kita miliki dan kita nikmati di rumah. Era 3D yang lebih personal ditandai dengan mulai dipasarkannya kamera 3D, proyektor 3D, televisi 3D, game console 3D bahkan bingkai foto 3D dengan berbagai bentuk dan merk. Masuknya dunia imaging ke era 3D saya anggap memang sudah waktunya mengingat teknologi pendukung untuk itu sudah matang dan era 2D sudah ‘mentok’ tanpa banyak bisa disempurnakan lagi. Resolusi kamera foto sudah amat tinggi dengan belasan mega piksel, resolusi kamera video sudah sangat detail dengan HD 1080, namun dengan masih mengusung konsep 2D maka detail yang ada tidak berdimensi alias datar. Era 3D ini akan membawa perubahan banyak dalam dunia imaging, baik foto maupun video.
Keistimewaan mata manusia salah satunya adalah memiliki dua bola mata yang bekerja secara stereoskopik. Karena antara mata kiri dan kanan memiliki jarak, maka saat kedua mata melihat benda di depannya akan menghasilkan sudut pandang yang sedikit berbeda, atau istilahnya parallax. Kedua informasi ini bisa diolah pada otak sehingga memberi kesan kedalaman atau berdimensi (maka itu dengan menutup satu mata kita akan kesulitan mengendarai mobil atau bermain tenis). Konsep inilah yang menginspirasi lahirnya kamera 3D dimana diperlukan dua lensa untuk mengambil gambar dengan perbedaan paralaks yang kemudian gambar dari kedua lensa ini diolah melalui proses rumit seperti metoda light-refraction, color-filtering, atau light polarization.
Sayangnya teknologi untuk mewujudkan konsep 3D masih sangat rumit dan berbeda-beda. Umumnya diperlukan sebuah kacamata khusus untuk mengarahkan mata melihat gambar yang sesuai (gambar untuk dilihat oleh mata kanan benar-benar tidak boleh dilihat oleh mata kiri, dan sebaliknya) sehingga otak bisa menter-jemahkan gambar 3D menjadi punya kesan kedalaman. Jadi kesan kedalaman (depth) bisa direproduksi dengan mengirim sinyal yang tepat ke otak dan kita akan merasa seperti melihat suasana aslinya.
Tidak semua orang bisa menikmati gambar 3D, khususnya mereka yang salah satu matanya tidak bisa melihat. Tanpa mendapat dua informasi, otak tidak bisa membangkitkan kesan kedalaman. Bahkan untuk mata normal pun bila informasi yang ditujukan untuk mata kiri dan kanan tercampur maka kesan kedalaman akan gagal didapat. Maka itu umumnya diperlukan kacamata 3D untuk melihat film 3D di bioskop. Tanpa kacamata, gambar akan tampak bertumpuk dan tidak enak untuk dilihat, seperti contoh di bawah ini :
Untungnya kini teknologi berhasil mewujudkan gambar 3D tanpa memerlukan kacamata khusus, sehingga bisa diproduksi berbagai perangkat pribadi seperti kamera dan TV 3D untuk dipakai di rumah. Salah satu produk fotografi yang cukup menjanjikan untuk menghasilkan gambar 3D adalah kamera saku dari Fuji bernamaFinePix W3 dengan 2 lensa tentunya. Kamera mungil seharga 6 juta ini sebetulnya adalah generasi kedua yang lebih disempurnakan, dengan dua sensor CCD 10 MP dan memakai sistem parallax control untuk proses mendapat gambar dan video 3 dimensi. Hasilnya bisa dilihat langsung di layar LCD berukuran 3,5 inci yang memiliki teknologi parralax barrier. Untuk menikmati hasilnya di rumah, bisa digunakan televisi 3D, bingkai foto 3D atau dicetak di kertas lenticular khusus untuk foto 3D.
Memang teknologi 3D saat ini masih jarang dan terkesan mahal, apalagi kemungkinan penyempurnaan hasilnya masih sangat terbuka lebar. Akan lebih baik kalau teknologi 3D tidak lagi memerlukan kacamata khusus, cukup dengan melihat langsung seperti prinsip LCD dengan sistem parallax control. Bila era 3D sudah dipakai secara luas, melihat foto atau video 2 dimensi akan sangat terasa kuno dan ketinggalan jaman. Sudah siapkah kita menyambutnya?
Sumber: http://gaptek28.wordpress.com
0 Response to "Era 3D telah tiba, sudah siapkah kita menyambutnya?"
Post a Comment